KASUS PERLINDUNGAN
KONSUMEN
Di Indonesia, nasib perlindungan konsumen masih
berjalan tertatih-tatih. Hal-hal menyangkut kepentingan konsumen memang masih
sangat miskin perhatian. Setelah setahun menunggu, Kementerian Kesehatan
akhirnya mengumumkan hasil survei 47 merek susu formula bayi untuk usia 0-6
bulan. Hasil survei menyimpulkan, tidak ditemukan bakteri Enterobacter
sakazakii. Hasil ini berbeda dengan temuan peneliti Institut Pertanian Bogor,
yang menyebutkan, 22,73% susu formula (dari 22 sampel), dan 40% makanan bayi
(dari 15 sampel) yang dipasarkan April hingga Juni 2006 terkontaminasi E
sakazakii. Apa pun perbedaan yang tersaji dari kedua survei tersebut, yang
jelas, kasus susu formula ini telah menguak fakta laten dan manifes menyangkut
perlindungan konsumen. Ini membuktikan bahwa hal-hal menyangkut kepentingan
(hukum) konsumen rupanya memang masih miskin perhatian dalam tata hukum kita,
apalagi peran konsumen dalam pembangunan ekonomi. Tanggung Jawab Produk Dalam
perlindungan konsumen sesungguhnya ada doktrin yang disebut strict product
liability, yakni tanggung jawab produk yang bertujuan untuk memberikan
perlindungan kepada konsumen. Ini dapat kita lihat dalam Pasal 22 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang mengatur bahwa
pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan menjadi beban dan tanggung
jawab pelaku usaha. Doktrin tersebut selaras dengan doktrin perbuatan melawan
hukum (pasal 1365 KUHPerdata) yang menyatakan, “Tiap perbuatan melanggar hukum
yang membawa kerugian bagi orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian, mengganti kerugian tersebut.” Untuk dapat dikatakan
sebagai perbuatan melawan hukum berdasar pasal 1365 KUHPerdata, suatu perbuatan
harus memenuhi unsur-unsur, seperti adanya perbuatan melawan hukum, adanya
unsur kesalahan, kerugian, dan adanya hubungan sebab-akibat yang menunjukkan
adanya kerugian yang disebabkan oleh kesalahan seseorang. Unsur-unsur ini pada
dasarnya bersifat alternatif. Artinya, untuk memenuhi bahwa suatu perbuatan
melawan hukum, tidak harus dipenuhi semua unsure tersebut. Jika suatu perbuatan
sudah memenuhi salah satu unsur saja, maka perbuatan tersebut dapat dikatakan
sebagai perbuatan melawan hukum. Doktrin strict product liability masih
tergolong baru dalam doktrin ilmu hukum di Indonesia. Doktrin tersebut selayaknya
dapat diintroduksi dalam doktrin perbuatan melawan hukum (tort) sebagaimana
diatur dalam pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Seorang konsumen,
apabila dirugikan dalam mengonsumsi barang atau jasa, dapat menggugat pihak
yang menimbulkan kerugian. Pihak di sini bisa berarti produsen/pabrik,
supplier, pedagang besar, pedagang eceran/ penjual ataupun pihak yang
memasarkan produk. Ini tergantung dari siapa yang melakukan atau tidak
melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi konsumen. Selama ini,
kualifikasi gugatan yang masih digunakan di Indonesia adalah wanprestasi
(default). Apabila ada hubungan kontraktual antara konsumen dan pengusaha,
kualifikasi gugatannya adalah wanprestasi. Jika gugatan konsumen menggunakan
kualifikasi perbuatan melawan hukum (tort), hubungan kontraktual tidaklah
disyaratkan. Bila tidak, konsumen sebagai penggugat harus membuktikan
unsur-unsur seperti adanya perbuatan melawan hukum. Jadi, konsumen dihadapkan
pada beban pembuktian berat, karena harus membuktikan unsur melawan hukum. Hal
inilah yang dirasakan tidak adil oleh konsumen, karena yang tahu proses
produksinya adalah pelaku usahanya. Pelaku usahalah yang harus membuktikan
bahwa ia tidak lalai dalam proses produksinya. Untuk membuktikan unsur “tidak
lalai” perlu ada kriteria berdasarkan ketentuan hukum administrasi negara
tentang “Tata Cara Produksi Yang Baik” yang dikeluarkan instansi atau
departemen yang berwenang. Kedigdayaan Produsen Berdasarkan prinsip kesejajaran
kedudukan antara pelaku usaha dan konsumen, hal itu mestinya tidak dengan
sendirinya membawa konsekuensi konsumen harus membuktikan semua unsur perbuatan
melawan hukum. Oleh karena itu, terhadap doktrin perbuatan melawan hukum dalam
perkara konsumen, seyogianya dilakukan “deregulasi” dengan menerapkan doktrin
strict product liability ke dalam doktrin perbuatan melawan hukum. Hal ini
dapat dijumpai landasan hukumnya dalam pasal 1504 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata yang menegaskan bahwa penjual bertanggung jawab adanya “cacat
tersembunyi” pada produk yang dijual. Menurut doktrin strict product liability,
tergugat dianggap telah bersalah (presumption of quality), kecuali apabila ia
mampu membuktikan bahwa ia tidak melakukan kelalaian/kesalahan. Seandainya ia
gagal membuktikan ketidaklalaiannya, maka ia harus memikul risiko kerugian yang
dialami pihak lain karena mengonsumsi produknya. Doktrin tersebut memang masih
merupakan hal baru bagi Indonesia. Kecuali Jepang, semua negara di Asia masih
memegang teguh prinsip konsumen harus membuktikan kelalaian pengusaha.
Sekalipun doktrin strict product liability belum dianut dalam tata hukum kita,
apabila perasaan hukum dan keadilan masyarakat menghendaki lain, kiranya
berdasarkan Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang No 14 Tahun 1970, hakim wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat
(living law). Walhasil, berkait kasus susu formula ada hal yang patut ditarik
pelajaran. Ternyata, selama ini yang masih terpampang adalah “kedigdayaan”
produsen atau pelaku usaha termasuk pengambil kebijakan. Terlihat, pihak-pihak
terkait bersikap defensif dengan seolah menantang konsumen yang merasa
dirugikan untuk membuktikan unsur “ada/tidaknya kelalaian/ kesalahan” terhadap
sebuah produk. Padahal, pihak-pihak berwenanglah yang harus membuktikan apakah
betul ada kesalahan/kelalaian dalam produknya tersebut. Analisis Disini
konsumen yang sangat dirugikan oleh terdapat bakteri Enterobacter sakazakii
yang terkandung pada susu formula yang banyak diminum oleh balita berumur 0 – 6
tahun. Bakteri ini sangat berbahaya untuk balita yang meminum susu formula yang
berdapat bakteri Enterobacter sakazakii dalam kurun waktu lama. Hal ini
merupakan tanggung jawab dari produsen susu formula tersebut. Kalau dibiarkan
konsumen sangat dirugikan karena bukannya sehat minum susu anak – anak mereka
tetapi penyakit yang didapatkannya. Ini sudah membohongin konsumen dapat dapat
dikenakan sanksi yang tegas dari Departemen Kesehatan dan BPOM, karena telah
menyalahgunakan UU perlindungan konsumen yang sudah disebutkan diatas tadi.
Sumber
http://www.investor.co.id/home/kasus-susu-formula-dan-perlindungan-konsumen/15923
Tidak ada komentar:
Posting Komentar