Rabu, 05 Juni 2013

KASUS PERLINDUNGAN KONSUMEN



KASUS PERLINDUNGAN KONSUMEN
Di Indonesia, nasib perlindungan konsumen masih berjalan tertatih-tatih. Hal-hal menyangkut kepentingan konsumen memang masih sangat miskin perhatian. Setelah setahun menunggu, Kementerian Kesehatan akhirnya mengumumkan hasil survei 47 merek susu formula bayi untuk usia 0-6 bulan. Hasil survei menyimpulkan, tidak ditemukan bakteri Enterobacter sakazakii. Hasil ini berbeda dengan temuan peneliti Institut Pertanian Bogor, yang menyebutkan, 22,73% susu formula (dari 22 sampel), dan 40% makanan bayi (dari 15 sampel) yang dipasarkan April hingga Juni 2006 terkontaminasi E sakazakii. Apa pun perbedaan yang tersaji dari kedua survei tersebut, yang jelas, kasus susu formula ini telah menguak fakta laten dan manifes menyangkut perlindungan konsumen. Ini membuktikan bahwa hal-hal menyangkut kepentingan (hukum) konsumen rupanya memang masih miskin perhatian dalam tata hukum kita, apalagi peran konsumen dalam pembangunan ekonomi. Tanggung Jawab Produk Dalam perlindungan konsumen sesungguhnya ada doktrin yang disebut strict product liability, yakni tanggung jawab produk yang bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Ini dapat kita lihat dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang mengatur bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan menjadi beban dan tanggung jawab pelaku usaha. Doktrin tersebut selaras dengan doktrin perbuatan melawan hukum (pasal 1365 KUHPerdata) yang menyatakan, “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian bagi orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian, mengganti kerugian tersebut.” Untuk dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum berdasar pasal 1365 KUHPerdata, suatu perbuatan harus memenuhi unsur-unsur, seperti adanya perbuatan melawan hukum, adanya unsur kesalahan, kerugian, dan adanya hubungan sebab-akibat yang menunjukkan adanya kerugian yang disebabkan oleh kesalahan seseorang. Unsur-unsur ini pada dasarnya bersifat alternatif. Artinya, untuk memenuhi bahwa suatu perbuatan melawan hukum, tidak harus dipenuhi semua unsure tersebut. Jika suatu perbuatan sudah memenuhi salah satu unsur saja, maka perbuatan tersebut dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum. Doktrin strict product liability masih tergolong baru dalam doktrin ilmu hukum di Indonesia. Doktrin tersebut selayaknya dapat diintroduksi dalam doktrin perbuatan melawan hukum (tort) sebagaimana diatur dalam pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Seorang konsumen, apabila dirugikan dalam mengonsumsi barang atau jasa, dapat menggugat pihak yang menimbulkan kerugian. Pihak di sini bisa berarti produsen/pabrik, supplier, pedagang besar, pedagang eceran/ penjual ataupun pihak yang memasarkan produk. Ini tergantung dari siapa yang melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi konsumen. Selama ini, kualifikasi gugatan yang masih digunakan di Indonesia adalah wanprestasi (default). Apabila ada hubungan kontraktual antara konsumen dan pengusaha, kualifikasi gugatannya adalah wanprestasi. Jika gugatan konsumen menggunakan kualifikasi perbuatan melawan hukum (tort), hubungan kontraktual tidaklah disyaratkan. Bila tidak, konsumen sebagai penggugat harus membuktikan unsur-unsur seperti adanya perbuatan melawan hukum. Jadi, konsumen dihadapkan pada beban pembuktian berat, karena harus membuktikan unsur melawan hukum. Hal inilah yang dirasakan tidak adil oleh konsumen, karena yang tahu proses produksinya adalah pelaku usahanya. Pelaku usahalah yang harus membuktikan bahwa ia tidak lalai dalam proses produksinya. Untuk membuktikan unsur “tidak lalai” perlu ada kriteria berdasarkan ketentuan hukum administrasi negara tentang “Tata Cara Produksi Yang Baik” yang dikeluarkan instansi atau departemen yang berwenang. Kedigdayaan Produsen Berdasarkan prinsip kesejajaran kedudukan antara pelaku usaha dan konsumen, hal itu mestinya tidak dengan sendirinya membawa konsekuensi konsumen harus membuktikan semua unsur perbuatan melawan hukum. Oleh karena itu, terhadap doktrin perbuatan melawan hukum dalam perkara konsumen, seyogianya dilakukan “deregulasi” dengan menerapkan doktrin strict product liability ke dalam doktrin perbuatan melawan hukum. Hal ini dapat dijumpai landasan hukumnya dalam pasal 1504 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menegaskan bahwa penjual bertanggung jawab adanya “cacat tersembunyi” pada produk yang dijual. Menurut doktrin strict product liability, tergugat dianggap telah bersalah (presumption of quality), kecuali apabila ia mampu membuktikan bahwa ia tidak melakukan kelalaian/kesalahan. Seandainya ia gagal membuktikan ketidaklalaiannya, maka ia harus memikul risiko kerugian yang dialami pihak lain karena mengonsumsi produknya. Doktrin tersebut memang masih merupakan hal baru bagi Indonesia. Kecuali Jepang, semua negara di Asia masih memegang teguh prinsip konsumen harus membuktikan kelalaian pengusaha. Sekalipun doktrin strict product liability belum dianut dalam tata hukum kita, apabila perasaan hukum dan keadilan masyarakat menghendaki lain, kiranya berdasarkan Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang No 14 Tahun 1970, hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat (living law). Walhasil, berkait kasus susu formula ada hal yang patut ditarik pelajaran. Ternyata, selama ini yang masih terpampang adalah “kedigdayaan” produsen atau pelaku usaha termasuk pengambil kebijakan. Terlihat, pihak-pihak terkait bersikap defensif dengan seolah menantang konsumen yang merasa dirugikan untuk membuktikan unsur “ada/tidaknya kelalaian/ kesalahan” terhadap sebuah produk. Padahal, pihak-pihak berwenanglah yang harus membuktikan apakah betul ada kesalahan/kelalaian dalam produknya tersebut. Analisis Disini konsumen yang sangat dirugikan oleh terdapat bakteri Enterobacter sakazakii yang terkandung pada susu formula yang banyak diminum oleh balita berumur 0 – 6 tahun. Bakteri ini sangat berbahaya untuk balita yang meminum susu formula yang berdapat bakteri Enterobacter sakazakii dalam kurun waktu lama. Hal ini merupakan tanggung jawab dari produsen susu formula tersebut. Kalau dibiarkan konsumen sangat dirugikan karena bukannya sehat minum susu anak – anak mereka tetapi penyakit yang didapatkannya. Ini sudah membohongin konsumen dapat dapat dikenakan sanksi yang tegas dari Departemen Kesehatan dan BPOM, karena telah menyalahgunakan UU perlindungan konsumen yang sudah disebutkan diatas tadi. Sumber 

http://www.investor.co.id/home/kasus-susu-formula-dan-perlindungan-konsumen/15923


BAB 9 10 11

BAB 9
Perlindungan Konsumen
1. Pengertian Konsumen

Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. 

2. Asas dan Tujuan

Asas-asas yang dianut dalam hukum perlindungan konsumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 UU PK adalah:

1. Asas manfaat

Asas ini mengandung makna bahwa penerapan UU PK harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan pelaku usaha. Sehingga tidak ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi dibanding pihak lainnya. Kedua belah pihak harus memperoleh hak-haknya.

2. Asas keadilan

Penerapan asas ini dapat dilihat di Pasal 4 – 7 UU PK yang mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha. Diharapkan melalui asas ini konsumen dan pelaku usaha dapat memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya secara seimbang.

3. Asas keseimbangan

Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen, pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak yang lebih dilindungi.

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen

Diharapkan penerapan UU PK akan memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

5. Asas kepastian hukum

Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

Sedangkan Pasal 3 UU PK menyebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen adalah:

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri

2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa

3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen

4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi

5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha

6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

3. Hak dan Kewajiban Konsumen

Untuk melindungi hal tersebut, penting kiranya para konsumen memahami hak-hak yang dimiliki demi mendapatkan perlindungan akan barang dan/jasa yang dikonsumsinya. Berikut hak-hak yang dimiliki para konsumen:

1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa

2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan

3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi jaminan barang dan/atau jasa

4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan

5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut

6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen

7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif

8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya

9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang lainnya.

4. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

1. Seperti halnya konsumen, pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajiban. Hak pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPK adalah:

2. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

3. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;

4. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

5. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

6. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Sedangkan kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 UUPK adalah:

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Demi mendapatkan perlindungan yang maksimal, maka sudah menjadi kewajiban konsumen untuk memperhatikan hal berikut ini:

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan

b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa

c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

5. Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha

a. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :

1. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan perundang-undangan

2. Tidak sesuaidengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut

3. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya

b. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.

c. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.

d. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat 1 dan ayat 2 dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.

6. Klausula Baku dalam Perjanjian

Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan / atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen, klausula Baku aturan sepihak yang dicantumkan dalam kuitansi, faktur / bon, perjanjian atau dokumen lainnya dalam transaksi jual beli tidak boleh merugikan konsumen.

7. Tanggung jawab Pelaku Usaha

Pasal 19

Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan

Pasal 20

Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut

Pasal 21

(1) Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri

(2) Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila penyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing

Pasal 22

Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian

Pasal 23

Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen

Pasal 24

(1) Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen

(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut

Pasal 25

(1) Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan

2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut

a. Tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan

b. Tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan.

Pasal 26

Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan.

Pasal 27

Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dan tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila

a. Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan

b. Cacat barang timbul pada kemudian hari

c. Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;

d. Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen

e. Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan

Pasal 28

Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.

8. Sanksi

Sanksi dalam bahasa Indonesia diambil dari bahasa Belanda, sanctie, seperti dalam poenale sanctie yang terkenal dalam sejarah Indonesia di masa kolonial Belanda

Sanksi yang melibatkan negara :

Sanksi internasional, yaitu langkah-langkah hukuman yang dijatuhkan oleh suatu negara atau sekelompok negara terhadap negara lain karena alasan-alasan politik.

Sanksi diplomatik, yaitu penurunan atau pemutusan hubungan diplomatik, seperti misalnya penurunan tingkat hubungan diplomatik dari kedutaan besar menjadi konsulat atau penarikan duta besar sama sekali.

Sanski ekonomi, biasanya berupa larangan perdagangan, kemungkinan dalam batas-batas tertentu seperti persenjataan, atau dengan pengecualian tertentu, misalnya makanan dan obat-obatan, seperti yang dikenakan oleh Amerika Serikat terhadap Kuba.

Sanksi militer, dalam bentuk intervensi militer

Sanksi perdagangan, yaitu sanksi ekonomi yang diberlakukan karena alasan-alasan non-politik, biasanya sebagai bagian dari suatu pertikaian perdagangan, atau semata-mata karena alasan ekonomi. Lazimnya melibatkan pengenaan tarif khusus atau langkah-langkah serupa, dan bukan larangan total.

Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Konsumen
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/05/asas-dan-tujuan-hukum-perlindungan-konsumen/
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/05/hak-dan-kewajiban-konsumen/
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/02/perlindungan-konsumen/



BAB 10
Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
1.       Pengertian

Pasar Monopoli adalah suatu bentuk pasar di mana hanya terdapat satu penjual yang menguasai pasar. Penentu harga pada pasar ini adalah seorang penjual atau sering disebut sebagai "monopolis".
Sebagai penentu harga (price-maker), seorang monopolis dapat menaikan atau mengurangi harga dengan cara menentukan jumlah barang yang akan diproduksi; semakin sedikit barang yang diproduksi, semakin mahal harga barang tersebut, begitu pula sebaliknya. Walaupun demikian, penjual juga memiliki suatu keterbatasan dalam penetapan harga. Apabila penetapan harga terlalu mahal, maka orang akan menunda pembelian atau berusaha mencari atau membuat barang subtitusi (pengganti) produk tersebut.

2. Asas dan Tujuan

Asas
Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.

Tujuan
Undang-Undang (UU) persaingan usaha adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999) yang bertujuan untuk memelihara pasar kompetitif dari pengaruh kesepakatan dan konspirasi yang cenderung mengurangi dan atau menghilangkan persaingan. Kepedulian utama dari UU persaingan usaha adalah promoting competition dan memperkuat kedaulatan konsumen.

3. Kegiatan yang Dilarang

Dalam UU No.5/1999,kegiatan yang dilarang diatur dalam pasal 17 sampai dengan pasal 24. Undang undang ini tidak memberikan defenisi kegiatan,seperti halnya perjanjian. Namun demikian, dari kata “kegiatan” kita dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kegiatan disini adalah aktivitas,tindakan secara sepihak. Bila dalam perjanjian yang dilarang merupakan perbuatan hukum dua pihak maka dalam kegiatan yang dilarang adalah merupakan perbuatan hukum sepihak.

Adapun kegiatan kegiatan yang dilarang tersebut yaitu :

1. Monopoli

Adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha

2. Monopsoni

Adalah situasi pasar dimana hanya ada satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar yang besar yang bertindak sebagai pembeli tunggal,sementara pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang bertindak sebagai penjual jumlahnya banyak.

3. Penguasaan pasar

Di dalam UU no.5/1999 Pasal 19,bahwa kegiatan yang dilarang dilakukan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya penguasaan pasar yang merupakan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat yaitu :

a. menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan;

b. menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya;

c. membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan;

d. melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.

4. Persekongkolan

Adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol (pasal 1 angka 8 UU No.5/1999).

5. Posisi Dominan

Artinya pengaruhnya sangat kuat, dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan posisi dominan merupakan suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa yang dikuasai atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan, penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan dan permintaan barang atau jasa tertentu.

6. Jabatan Rangkap

Dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa seorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan, pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain.

7. Pemilikan Saham

Berdasarkan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis, melakukan kegiatan usaha dalam bidang sama pada saat bersangkutan yang sama atau mendirikan beberapa perusahaan yang sama.

8. Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan

Dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, mengatakan bahwa pelaku usaha yang berbadan hukum maupun yang bukan berbadan hukum yang menjalankan perusahaan bersifat tetap dan terus menerus dengan tujuan mencari keuntungan.

4. Perjanjian yang Dilarang
 

1. Oligopoli

Adalah keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang hanya berjumlah sedikit, sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga pasar.

2. Penetapan harga

Dalam rangka penetralisasi pasar, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, antara lain :

a. Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama ;

b. Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama ;

c. Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar ;

d. Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya dengan harga lebih rendah daripada harga yang telah dijanjikan.

3. Pembagian wilayah

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa.

4. Pemboikotan

Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.

5. Kartel

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa.

6. Trust

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup tiap-tiap perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa.

7. Oligopsoni

Keadaan dimana dua atau lebih pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam suatu pasar komoditas.

8. Integrasi vertikal

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengelolaan atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung.

9. Perjanjian tertutup

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.

10. Perjanjian dengan pihak luar negeri

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

5. Hal-hal yang Dikecualikan dalam UU Anti Monopoli

Hal-hal yang dilarang oleh Undang-Undang Anti Monopoli adalah sebagai berikut :

1. Perjanjian-perjanjian tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar, yang terdiri dari:

(a) Oligopoli

(b) Penetapan harga

(c) Pembagian wilayah

(d) Pemboikotan

(e) Kartel

(f) Trust

(g) Oligopsoni

(h) Integrasi vertikal

(i) Perjanjian tertutup

(j) Perjanjian dengan pihak luar negeri

2. Kegiatan-kegiatan tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar,

yang meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut :

(a) Monopoli

(b) Monopsoni

(c) Penguasaan pasar

(d) Persekongkolan

3. Posisi dominan, yang meliputi :

(a) Pencegahan konsumen untuk memperoleh barang atau jasa yang bersaing

(b) Pembatasan pasar dan pengembangan teknologi

(c) Menghambat pesaing untuk bisa masuk pasar

(d) Jabatan rangkap

(e) Pemilikan saham

(f) Merger, akuisisi, konsolidasi

6. Komisi Pengawasan Persaingan Usaha

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

7. Sanksi dalam Antimonopoli dan Persaingan Usaha

Pasal 36 UU Anti Monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah melakukan penelitian, penyelidikan dan menyimpulkan hasil penyelidikan mengenai ada tidaknya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Masih di pasal yang sama, KPPU juga berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar UU Anti Monopoli. Apa saja yang termasuk dalam sanksi administratif diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Anti Monopoli. Meski KPPU hanya diberikan kewenangan menjatuhkan sanksi administratif, UU Anti Monopoli juga mengatur mengenai sanksi pidana. Pasal 48 menyebutkan mengenai pidana pokok. Sementara pidana tambahan dijelaskan dalam Pasal 49.

Pasal 48

(1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.

(2) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-Undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 ( lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupialh), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.

(3) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.

Pasal 49

Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:

a. pencabutan izin usaha; atau

b. larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau

c. penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnva kerugian pada pihak lain.

Aturan ketentuan pidana di dalam UU Anti Monopoli menjadi aneh lantaran tidak menyebutkan secara tegas siapa yang berwenang melakukan penyelidikan atau penyidikan dalam konteks pidana.

Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Pasar_monopoli
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/04/asas-dan-tujuan-monopoli/
http://fikaamalia.wordpress.com/2011/04/11/kegiatan-yang-dilarang/
http://fikaamalia.wordpress.com/2011/04/11/perjanjian-yang-dilarang-anti-monopoli-dan-persaingan-usaha-tidak-sehat/
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/02/anti-monopoli-dan-persaingan-usaha-tidak-sehat/



BAB 11

Penyelesaian Sengketa Ekonomi
1. Pengertian Sengketa

Sengketa adalah perilaku pertentangan antara kedua orang atua lembaga atau lebih yang menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberikan sanksi hukum bagi salah satu diantara keduanya.

2. Cara-cara Penyelesaian Sengketa

Sengketa dapat di selesaikan dengan berbagai cara dintara nya :

- Negosiasi

- Mediasi

- Arbitrasi

- Konsiliasi

- Enquiry (Penyelidikan)

- Pengadilan
 

3. Negosiasi

Negosiasi adalah suatu bentuk pertemuan antara dua pihak: pihak kita dan pihal lawan dimana kedua belah pihak bersama-sama mencari hasil yang baik, demi kepentingan kedua pihak.

4. Mediasi

Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui proses perundingan atau mufakat para pihak dengan dibantu oleh mediator yang tidak memiliki kewenangan memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.

5. Arbitrase

Arbitrase adalah kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan

6. Perbandingan antara Perundingan, Arbitrase, dan Ligitasi

Perbedaan antara Perundingan, Arbitrase, dan Ligitasi ialah sebagai berikut :

- Perundingan ialah tindakan atau proses menawar untuk meraih tujuan atau kesepakatan yang bisa diterima.

- Arbitrase merupakan kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan

- Ligitasi adalah proses dimana seorang individu atau badan membawa sengketa, kasus ke pengadilan atau pengaduan dan penyelesaian tuntutan atau penggantian atas kerusakan.

Jadi perbandingan diantara ketiganya ini merupakan tahapan dari suatu penyelesaian pertikaian. Tahap pertama terlebih dahulu melakukan perundingan diantara kedua belah pihak yang bertikai, kedua ialah ke jalan Arbitrase ini di gunakan jika kedua belah pihak tidak bisa menyelesaikan pertikaian yang ada oleh sebab itu memerlukan pihak ketiga. Ketiga ialah tahap yang sudah tidak bisa diselesaikan dengan menggunakan pihak ketiga oleh sebab ini mereka mebutuhkan hukum atau pengadilan untuk menyelesaikan pertikaian yang ada.

Sumber :
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/05/penyelesaian-sengketa-ekonomi-makalah-aspek-hukum-dalam-ekonomi/