BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara yang dianugrahi dengan kekayaan alamnya.Namun
pada kenyataannya kita masih saja impor dari luar negeri
Untuk memenuhi kebutuhan kita ,terutama
dalam hal pangan.Yang kita akan bahasa adalah kacang kedelai,yang merupakan
bahan dasar pembuatan tahu dan tempe.
Belakangan ini tahu dan tempe sangat sulit untuk kita jumpai dipasaran.Hal
ini disebabkan harga kedelai naik secara drastis dan ini membuat para perajin
tahu tempe mengurangi produksinya bahkan sampai mogok produksi.
Tetapi apa yang menyebabkan harga kedelai naik dan terjadinya krisis
kedelai,sehingga pemerintah harus melakukan impor.Ini yang akan saya bahas dalam
tulisan ilmiah saya tentang kacang kedelai.
2.
Perumusan
Masalah
I.
Apa
yang menyebabkan sampai harga kedelai naik?
II.
Apa
penyebab sehingga kekurangan/krisis kedelai?
III.
Bagaimana
cara mengatasi krisis kedelai?
3.
Tujuan
dan Manfaat Penulisan
I.
Tujuan
Agar kita mengetahui penyebab dari
masalah kedelai ini
II.
Manfaat
Semoga pembahasan ini dapat dimengerti
oleh semua sehingga krisis kedelai dapat terselesaikan.
4.
Metode Penulisan
Untuk mendapatkan informasi yang
diperlukan,penulis menggunakan metode studi dokumenter. Adapun teknik yang
digunakan pada penelitian ini adalah studi pustaka,pada metode ini penulis
membaca artikel dan tanggapan para tokoh yang berhubungan dengan penulisan
karya ilmiah serta yang berkaitan dengan masalah kedelai.
5.
Sistem penulisan
Pada karya ilmiah ini,penulis akan
menjelaskan penelitian dari internet dimulai dengan bab pendahuluan.Bab ini meliputi
latarbelakang masalah,perumusan masalah,tujuan penelitian serta sistem
penulisan.Bab selanjutnya penulis melakukan penelitian dan fakta yang didapat.
BAB II
Aksi pemogokan yang dilakukan para perajin sebagai bentuk protes terhadap tingginya harga kedelai, akan membuat produksi tahu dan tempe dalam negeri tidak akan terpenuhi. Padahal, kedua jenis bahan makan tersebut merupakan salah satu konsumsi utama masyarakat Indonesia.
Peneliti dari CSIS, Haryo Aswicahyono, menilai tingginya harga kedelai akibat kesalahan pemerintah,bukan hanya karena faktor eksternal yakni anjloknya nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat
"Memang tingginya harga kedelai, salah satunya karena menguatnya dolar terhadap Rupiah. Tapi penyebab utamanya adalah kebijakan pemerintah yang tidak tepat dalam menangani konsumsi kedelai dalam negeri," kata Haryo kepada okezone Rabu (11/9/2013).
Dia menjelaskan, kedelai merupakan tanaman subtropis yang tidak cocok dikembangkan di seluruh wilayah Indonesia, sehingga jalan satu-satunya untuk memenuhi konsumsi kedelai dalam negeri sekira 2,5 juta ton per tahun harus dengan impor.
Namun, lanjut dia, pemerintah malah membuat kebijakan membatasi impor dengan tujuan untuk swasembada kedelai. Sehingga yang terjadi pasokan tidak mencukupi karena produksi nasional hanya 700-800 ton per tahun.
"Karena pembatasan tersebut, impor kedelai jadi enggak lancar sehingga harga melambung. Lagian ini bukan pertama kalinya harga kedelai naik. Jauh sebelum Rupiah anjlok, kedelai juga sudah pernah naik,” tuturnya.
Selain tidak bisa menetapkan kebijakan yang tepat soal kedelai, dia menambahkan, kesalahan pemerintah yang lain adalah tidak mampu meningkatkan produksi kedelai dalam negeri sesuai tujuan pemerintah yakni swasembada pangan.
Lebih lanjut Haryo menilai,pemogokan yang dilakukan para perajin tahu dan tempe merupakan sebuah tekanan kepada pemerintah sebagai pemegang kebijakan agar ke depannya harga kedelai bisa lebih dikendalikan.
Aksi pemogokan yang dilakukan para perajin sebagai bentuk protes terhadap tingginya harga kedelai, akan membuat produksi tahu dan tempe dalam negeri tidak akan terpenuhi. Padahal, kedua jenis bahan makan tersebut merupakan salah satu konsumsi utama masyarakat Indonesia.
Peneliti dari CSIS, Haryo Aswicahyono, menilai tingginya harga kedelai akibat kesalahan pemerintah,bukan hanya karena faktor eksternal yakni anjloknya nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat
"Memang tingginya harga kedelai, salah satunya karena menguatnya dolar terhadap Rupiah. Tapi penyebab utamanya adalah kebijakan pemerintah yang tidak tepat dalam menangani konsumsi kedelai dalam negeri," kata Haryo kepada okezone Rabu (11/9/2013).
Dia menjelaskan, kedelai merupakan tanaman subtropis yang tidak cocok dikembangkan di seluruh wilayah Indonesia, sehingga jalan satu-satunya untuk memenuhi konsumsi kedelai dalam negeri sekira 2,5 juta ton per tahun harus dengan impor.
Namun, lanjut dia, pemerintah malah membuat kebijakan membatasi impor dengan tujuan untuk swasembada kedelai. Sehingga yang terjadi pasokan tidak mencukupi karena produksi nasional hanya 700-800 ton per tahun.
"Karena pembatasan tersebut, impor kedelai jadi enggak lancar sehingga harga melambung. Lagian ini bukan pertama kalinya harga kedelai naik. Jauh sebelum Rupiah anjlok, kedelai juga sudah pernah naik,” tuturnya.
Selain tidak bisa menetapkan kebijakan yang tepat soal kedelai, dia menambahkan, kesalahan pemerintah yang lain adalah tidak mampu meningkatkan produksi kedelai dalam negeri sesuai tujuan pemerintah yakni swasembada pangan.
Lebih lanjut Haryo menilai,pemogokan yang dilakukan para perajin tahu dan tempe merupakan sebuah tekanan kepada pemerintah sebagai pemegang kebijakan agar ke depannya harga kedelai bisa lebih dikendalikan.
Sekretaris Umum Gabungan
Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakopti), Suyanto, mengatakan harga
jual tempe dan tahu mengalami kenaikan 20-25 persen menyusul melemahnya nilai
tukar rupiah dan naiknya harga jual kedelai.
"Memang untuk menyiasati harga kedelai dan menguatnya nilai tukar dolar, kami menaikkan harga produksi. Ini sudah kita bahas, kisarannya 20-25 persen," katanya pada Tempo di Jakarta, Sabtu, 31 Agustus 2013. Menurut dia, kenaikan harga kedelai sudah semakin tidak terkendali. Nilai tukar rupiah terhadap dolar pun masih berada di atas kisaran Rp 10 ribu.
Suyanto mengatakan harga kedelai di DKI Jakarta sudah mencapai Rp 9.300 per kilogram. Di daerah, kata dia harga kedelai bisa mencapai di atas Rp 9.500. Dalam kondisi normal, harga tempe mencapai Rp 4.000 per potong. Sementara itu, harga tahu ukuran paling besar, dalam kondisi normal, mencapai Rp 2.500.
Harga yang semakin naik, kata Suyanto, menyebabkan penurunan daya beli masyarakat. Karena daya beli yang semakin turun, Suyanto mengatakan banyak produsen tahun dan tempe yang menurunkan produksi hingga 30 persen. "Produksi tidak full, daya beli masyarakat menurun maka banyak produsen yang sudah mengurangi produksi sampai 30 persen," katanya.
Untuk mengatasi kenaikan harga yang terus terjadi, Gakopti mendorong pemerintah untuk segera merealisasikan izin impor Bulog. Dengan realisasi impor, kata dia, pasokan kedelai sebagai bahan baku akan terjaga sehingga kenaikan harga pun bisa ditahan. "Produksi dalam negeri pun harus digenjot. Ini persoalan klasik yang selalu terjadi tiap tahun," katanya.
"Memang untuk menyiasati harga kedelai dan menguatnya nilai tukar dolar, kami menaikkan harga produksi. Ini sudah kita bahas, kisarannya 20-25 persen," katanya pada Tempo di Jakarta, Sabtu, 31 Agustus 2013. Menurut dia, kenaikan harga kedelai sudah semakin tidak terkendali. Nilai tukar rupiah terhadap dolar pun masih berada di atas kisaran Rp 10 ribu.
Suyanto mengatakan harga kedelai di DKI Jakarta sudah mencapai Rp 9.300 per kilogram. Di daerah, kata dia harga kedelai bisa mencapai di atas Rp 9.500. Dalam kondisi normal, harga tempe mencapai Rp 4.000 per potong. Sementara itu, harga tahu ukuran paling besar, dalam kondisi normal, mencapai Rp 2.500.
Harga yang semakin naik, kata Suyanto, menyebabkan penurunan daya beli masyarakat. Karena daya beli yang semakin turun, Suyanto mengatakan banyak produsen tahun dan tempe yang menurunkan produksi hingga 30 persen. "Produksi tidak full, daya beli masyarakat menurun maka banyak produsen yang sudah mengurangi produksi sampai 30 persen," katanya.
Untuk mengatasi kenaikan harga yang terus terjadi, Gakopti mendorong pemerintah untuk segera merealisasikan izin impor Bulog. Dengan realisasi impor, kata dia, pasokan kedelai sebagai bahan baku akan terjaga sehingga kenaikan harga pun bisa ditahan. "Produksi dalam negeri pun harus digenjot. Ini persoalan klasik yang selalu terjadi tiap tahun," katanya.
Setidaknya ada tiga sebab
terjadinya krisis kedelai di Indonesia. Ketiga sebab tesebut yakni karena
kekurangan lahan, petani sendiri enggan menanam kedelai dan kurang sosialisasi
hasil penelitian tentang kedelai unggul.
”Indonesia membutuhkan 2
juta hektar lahan pertanian untuk mencukupi kebutuhan kedelai dalam negeri,”
kata pakar vagronomi UGM, Prof.Dr. Didik Indradewa.Dip.Agr.St bahwa jumlah
kebutuhan lahan tersebut juga untuk mencukupi kekurangan beras sekitar 200.000
ton.
Dalam perbincangan dengan
wartawan di UGM, Rabu (11/9/2013) menurut dia perluasan lahan pertanian untuk
penanaman kedelai mendesak. Karena tanaman ini mengalami persaingan di tingkat
lahan. Dengan tanaman jagung, misalnya.
Pada 1992 Indonesia mampu
memproduksi 1,6 juta ton. Namun angka tersebut terus menurun karena areal
pertanian semakin berkurang. Produksi kedelai tinggal 800 ton per tahun.
”Krisis akan berlanjut jika tak segera ditangani,” Didik mengingatkan.
Krisis kedelai juga
ditengarai keengganan petani menanam kedelai. Karena produktivitasnya rendah
dan kalah bersaing dengan kedelai impor. Padahal sejumlah lembaga penelitian
dan perguruan tinggi di negegri ini tidak telah mengembangkan berbagi varietas
kedelai yang unggul dan mampu bersaing dengan kedelai impor.
“Rata-rata produktivitas
petani 1,3 ton per hektar sedangkan dari varietas kedelai yang dikembangkan
oleh peneliti bisa menjapai 3-4 ton per hektar,” dia menambahkan karena kurang
sosialisasi petani tak mengembangkan varietas kedelai unggul.
Perajin tempe dan tahu
sendiri lebih senang menggunakan kedelai impor karena harganya lebih murah dan
ketersediaannya lebih stabil. Sedang ketersediaan kedelai lokal lebih bersifat
musiman.
“Negoisasi harga yang
menguntungkan petani dan perajin tempe juga perlu dilakukan agar petani mau
memakai teknologi dan varietas unggulan yang telah dikembangkan,” kata Didik
Dan, pemerintah diharap
mengembangkan lahan yang kurang dimanfaatkan seperti di bawah tegakan hutan
Perhutani dan di luar Jawa untuk ditanam kedelai. Kalau semua hal itu dilakukan
diyakini bisa lepas dari krisis dan swasembada.
BAB III
Kesimpulan
Masalah ini tidak akan selesai apabila kebijakan
pemerintah yang diambil tidak tepat dalam menangani konsumsi kedelai dalam
negeri,seharusnya pemerintah bekerjasama dengan petani kedelai dan berpikah
kepada petani, dan pemerintah menyediakan fasilitas yang dibutuhkan oleh para
petani
Saran
Pemerintah seharusnya memberikan apa yang
dibutuhkan petani yang diharapkan petani
menjadi lebih mandiri dan tidak tergantung terhadap impor dari Negara lain
Referensi